Dosa selalu dianggap sesuatu yang di
luar, semacam godaan. Tak heran jika iblis atau setan atau apapun namanya,
seringkali dianggap kambing hitam atas terjadinya dosa. Iblis dianggap
provokator. Ya Tuhan, lindungi aku dari godaan setan dan iblis yang terkutuk.
Begitulah doa singkat yang selalu kita ucapkan setiapkali kita sedikit merasa
gentar dalam iman, merasa ingin kebaikan dan keteguhan. Lantas sedekat apakah
iblis dengan kita? Sedekat hela napaskah? Seperti apakah bentuknya? Semacam
hasratkah? Adakah iblis sebagai musuh nyata di luar manusia? Ataukah ia adalah
bayangan kita sendiri?
Bayangan? Ya, bayangan. Ia muncul karena
manusia berada diantara cahaya dan kegelapan. Ia bukan cahaya, bukan pula
kegelapan. Ia diciptakan dari potensi keduanya. Jangan heran jika ada manusia
yang (memilih) baik, dan ada manusia yang (memilih) jahat. Semua itu tergantung
kehendak-diri, hasrat diri. Kelak manusia membangun hukum, aturan,
undang-undang dan lain sebagainya. Itulah yang membedakannya dengan binatang.
Kebebasan hasrat manusia sudah
ditempatkan pada aturan dan hukum yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Jika
hasrat dibiarkan seenaknya melanggar, maka itulah dosa. Dosa adalah pilihan.
Jika kita memilih hal yang buruk, maka buruklah kita. Kejahatan lahir karena
manusia begitu lemah mengatur dirinya sendiri. Dosa lahir karena kita ceroboh
memahami dan mengendalikan keinginan diri. Hasrat tanpa aturan dan cara main
yang baik, adalah hasrat iblis. Hawa nafsu tanpa filterisasi, sumber kejahatan,
rahim lahirnya iblis.
Kita sendirilah yang menginginkan dosa
dan kesalahan. Kitalah yang melahirkan dan membesarkan iblis. Iblis adalah
nyala api dalam diri. Siapa yang menyalakan api iblis dalam diri, dialah yang
kalah. Siapa yang menuruti hawa nafsu, dialah yang akan melanggar banyak hal.
Hubungan sebab-akibat itulah yang ingin menjelaskan tentang dosa dan iblis.
Iblis adalah metafor. Ia adalah kejatuhan, “nyala kegelapan”.
Kitalah yang memproduksi iblis, dan pada
gilirannya ia akan lebih berkuasa atas diri kita. Seperti halnya manusia yang
memproduksi mesin, pada gilirannya mesin bisa lebih hebat dan berkuasa atas
diri kita. Atau seperti televisi yang dibuat oleh manusia sendiri, ia akan
hidup lewat remote control yang berada dalam tangan kita, tapi dia bisa
lebih kuat mengatur hidup kita. Disanalah kita dalam keadaan “menentukan” dan
“meminta”. Begitulah iblis diri dan hawa nafsu. Siapa yang selalu menuruti
keserakahan hawa nafsu, dialah yang tengah membesarkan iblis dalam dirinya.
Jika ia sudah tumbuh besar, apalah daya untuk melumpuhkannya. Meskipun hanya
setitik iblis dipatuhi, tentu akan demikian merusak seluruh fitrah baik
kemanusiaan kita. Tak hanya secara personal, tapi kerusakan sosial.
Bayangkan saja, seperti halnya oknum
pejabat setitik, rusak pejabat semuanya. Kebaikan semua ditentukan oleh
kebaikan individu. Citra universal ditentukan oleh kepingan-kepingannya.
Begitupun dengan iblis. Sekali saja ia menguasai diri kita, mempengaruhi kita
untuk berbuat jahat, maka rusaklah keseimbangan diri. Akibat lain, kepercayaan
orang lain pada kita akan susah untuk tumbuh kembali. Itu dikarenakan perbuatan
yang didasari hawa nafsu yang tak dikendalikan. Hawa nafsu yang hari demi hari
dimanjakan, hari demi hari ditumpuk, maka lama-lama jadi bukit yang akan
membuat kita tak berdaya. Hawa nafsu dan iblis itu seperti seseorang yang lapar
dan butuh teman ngobrol. Jika kita malah memberinya makan dan mengajaknya asyik
ngobrol, dia akan merangkul kita demikian erat, menikam kita dari belakang dan
menolak sujud pada hati nurani kita. Disanalah, ia menggantikan segalanya,
menggantikan kebaikan, moralitas, Allah dan rasa kemanusiaan. Ia menjelma
kesombongan kita, keserakahan kita, kezaliman kita.
Tapi,
selama kita tak memilih untuk terus menyalakan api iblis dalam diri, maka
dengan sendirinya ia akan padam. Iblis itu bukan attack, tapi demand,
request. Keadaan dirilah yang senantiasa harus ditaklukkan, dipadamkan,
diatur. Karena manusia hidup dalam proses memahami dan mengatur dirinya
sendiri. Orang berkelahi karena ia tak mampu menahan marah. Atau ada orang mati
karena ia memutuskan untuk tak makan selama berhari-hari. Malam ini begadang
atau tidak, tentu saja tergantung kita. Kita punya pilihan bebas, tapi
memerlukan tanggung jawab, mengandung resiko.
Walhasil, iblis adalah potensi manusia
yang cenderung merusak. Ketidakmampuan untuk me-manage potensi itu akan
membuat kita melakukan hal-hal buruk. Kesadaran akan akibat disertai pemahaman
moral yang baik dapat mencegah kita melakukan hal-hal buruk. Jika mencuri itu
mengakibatkan diri dan orang lain rugi, maka tak perlu. Jika korupsi itu dapat
merugikan dan menyengsarakan banyak orang, maka hentikan. Iblis bukan the
other, ia adalah bagian dari diri kita sendiri, dahaga hasrat kita, runcing
hawa nafsu kita. Sepanjang hidup, kita terus berkelahi dengannya. Sepanjang
hidup, kita harus mengaturnya, mampu menahan diri, mengalahkannya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar