Selamat Datang di Blog yang Sederhana ini

Selamat Datang di Blog yang Sederhana ini

Selasa, 10 April 2012

Leadership skull Mahasiswa dalam Kepemimpinan

SALAH satu metode yang harus dilakukan Indonesia untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran sekaligus mengejar ketertinggalan dari negara lain adalah membangun gerakan budaya kewirausahaan yang dilakukan bersama-sama antara pemerintah, akademisi, dan tokoh sosial. Tindakan penumbuhan koperasi, usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah (UMKM) sebagai penopang utama perekonomian Indonesia merupakan tindakan utama yang harus dilakukan dalam gerakan budaya kewirausahaan.

Pelaku UMKM yang mencapai 99 persen dari total 52,769 juta pelaku usaha di Indonesia inilah yang berhasil mengeluarkan Indonesia yang terus mendera sejak 1998. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, secara umum jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 116,5 juta orang atau bertambah sekitar 530 ribu orang dibanding Februari 2010 sebesar 116,0 juta orang. Tentu saja perbaikan ini tidak terlepas dari peran pelaku UMKM.

Namun, sarjana -diharapkan menjadi calon pemimpin bangsa di masa depan− yang menganggur di Indonesia sedikitnya tercatat 626.000 orang (BPS 2010). Hanya kemampuan wirausaha yang bisa mempercepat bangsa ini menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran yang semakin meningkat, terlebih kewirausahaan sosial dalam bidang pertanian (socioagropreneur).

Untuk mendorong keinginan pemerintah meningkatkan perekonomian nasional, mengurangi pengangguran, dan menyelesaikan masalah kemiskinan, jumlah wirausaha ditargetkan minimal dua persen dari total penduduk Indonesia. Peran mahasiswa pertanian sebagai calon pemimpin bangsa di masa mendatang sangat besar, salah satunya upaya pengentasan kemiskinan melalui kerjasama budidaya ikan nila dengan petani ikan yang mengalami kesulitan modal.

Peluang budidaya ikan nila sangat besar. Data menunjukkan pada tahun 2005, tingkat konsumsi ikan masyarakat di Indonesia mengalami kenaikan yakni dari 25,03 kg per kapita per tahun pada tahun 2006 menjadi 25,8 kg per kapita per tahun pada tahun 2007. Angka ini masih dibawah standar kecukupan pangan untuk ikan yaitu sebesar 26,55 kg per kapita per tahun. Sedangkan untuk pasar ekspor, salah satu pasar yang paling potensial adalah AS  dengan rata-rata ekspor 8.000 ton ikan nila per tahun (Agrina, 5 April 2007).

Lantas, bagaimana keadaan para petani ikan nila sehingga perlu melaksanakan program sosioagropreneur  kepada mereka? Penjelasan Hartyo (2010) tentang keadaan petani ikan di Bogor tentu bisa menjadi pertimbangan. Dia menjelaskan masih banyak keluarga petani ikan −dalam hal ini petani nila− yang mengalami defisit pendapatan. Rata-rata pendapatan per kapita per bulan pada kelompok keluarga pembudidaya ikan hanya Rp498.649,60. Sedangkan, pengeluaran per kapita per bulannya sebesar Rp419.639,30 − Rp510.700,10.

Hal ini mengindikasikan masih banyak keluarga yang angka kesejahteraannya belum layak. Permasalahan ini tentu saja menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari apalagi memperluas usahanya.

Socioagropreneur budidaya nila bertujuan menghasilkan karya yang dapat merubah Indonesia, terutama di kalangan petani ikan nila yang kekurangan modal dan tidak memiliki daya jual tinggi serta kalangan mahasiswa sebagai akademisi dan calon pemimpin bangsa. Program kerja sama antara mahasiswa sebagai pemasok bibit beserta pakan dan petani ikan sebagai pemilik kolam yang memiliki pengalaman di lapangan diharapkan mampu mengenali adanya kemandegan dalam kehidupan petani nila.

Hal ini dilakukan dengan menemukan disfungsi sistem, kemudian menyelesaikannya dengan merubah sistem tersebut dan sejalur dengan menumbuhkan kepercayaan diri petani dalam mengembangkan usahanya. Selain itu, program ini efektif dalam mendorong mahasiswa untuk berwirausaha dan memimpin di tengah kesibukannya sebagai seorang akademisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar