SALAH satu metode yang harus dilakukan Indonesia untuk mengatasi kemiskinan
dan pengangguran sekaligus mengejar ketertinggalan dari negara lain adalah
membangun gerakan budaya kewirausahaan yang dilakukan bersama-sama antara
pemerintah, akademisi, dan tokoh sosial. Tindakan penumbuhan koperasi, usaha
mikro, usaha kecil, dan usaha menengah (UMKM) sebagai penopang utama
perekonomian Indonesia merupakan tindakan utama yang harus dilakukan dalam
gerakan budaya kewirausahaan.
Pelaku UMKM yang mencapai 99 persen dari total 52,769 juta pelaku usaha di
Indonesia inilah yang berhasil mengeluarkan Indonesia yang terus mendera sejak
1998. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, secara umum jumlah angkatan
kerja di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 116,5 juta orang atau bertambah
sekitar 530 ribu orang dibanding Februari 2010 sebesar 116,0 juta orang. Tentu
saja perbaikan ini tidak terlepas dari peran pelaku UMKM.
Namun, sarjana -diharapkan menjadi calon pemimpin bangsa di masa depan− yang
menganggur di Indonesia sedikitnya tercatat 626.000 orang (BPS 2010). Hanya
kemampuan wirausaha yang bisa mempercepat bangsa ini menyelesaikan kemiskinan
dan pengangguran yang semakin meningkat, terlebih kewirausahaan sosial dalam
bidang pertanian (socioagropreneur).
Untuk mendorong keinginan pemerintah meningkatkan perekonomian nasional,
mengurangi pengangguran, dan menyelesaikan masalah kemiskinan, jumlah wirausaha
ditargetkan minimal dua persen dari total penduduk Indonesia. Peran mahasiswa
pertanian sebagai calon pemimpin bangsa di masa mendatang sangat besar, salah
satunya upaya pengentasan kemiskinan melalui kerjasama budidaya ikan nila
dengan petani ikan yang mengalami kesulitan modal.
Peluang budidaya ikan nila sangat besar. Data menunjukkan pada tahun 2005,
tingkat konsumsi ikan masyarakat di Indonesia mengalami kenaikan yakni dari
25,03 kg per kapita per tahun pada tahun 2006 menjadi 25,8 kg per kapita per
tahun pada tahun 2007. Angka ini masih dibawah standar kecukupan pangan untuk
ikan yaitu sebesar 26,55 kg per kapita per tahun. Sedangkan untuk pasar ekspor,
salah satu pasar yang paling potensial adalah AS dengan rata-rata ekspor
8.000 ton ikan nila per tahun (Agrina, 5 April 2007).
Lantas, bagaimana keadaan para petani ikan nila sehingga perlu melaksanakan
program sosioagropreneur kepada mereka? Penjelasan Hartyo (2010) tentang
keadaan petani ikan di Bogor tentu bisa menjadi pertimbangan. Dia menjelaskan
masih banyak keluarga petani ikan −dalam hal ini petani nila− yang mengalami
defisit pendapatan. Rata-rata pendapatan per kapita per bulan pada kelompok
keluarga pembudidaya ikan hanya Rp498.649,60. Sedangkan, pengeluaran per kapita
per bulannya sebesar Rp419.639,30 − Rp510.700,10.
Hal ini mengindikasikan masih banyak keluarga yang angka kesejahteraannya belum
layak. Permasalahan ini tentu saja menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari apalagi memperluas usahanya.
Socioagropreneur budidaya nila bertujuan menghasilkan karya yang dapat merubah
Indonesia, terutama di kalangan petani ikan nila yang kekurangan modal dan
tidak memiliki daya jual tinggi serta kalangan mahasiswa sebagai akademisi dan
calon pemimpin bangsa. Program kerja sama antara mahasiswa sebagai pemasok
bibit beserta pakan dan petani ikan sebagai pemilik kolam yang memiliki
pengalaman di lapangan diharapkan mampu mengenali adanya kemandegan dalam
kehidupan petani nila.
Hal ini dilakukan dengan menemukan disfungsi sistem, kemudian menyelesaikannya
dengan merubah sistem tersebut dan sejalur dengan menumbuhkan kepercayaan diri
petani dalam mengembangkan usahanya. Selain itu, program ini efektif dalam
mendorong mahasiswa untuk berwirausaha dan memimpin di tengah kesibukannya
sebagai seorang akademisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar